Kamis, 30 Maret 2017

Resume buku ayah dari Buya Hamka

                                    Buah Keimanan Buya Hamka



 
Judul Novel : Ayah
Pengarang : Irfan Hamka
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2013
Tebal : 324 halaman









SINOPSIS
Buku ini menceritakan tentang pengalaman yang dialami oleh Irfan Hamka selaku anak Buya Hamka serta keteladanan yang diambil oleh Irfan Hamka dari ayahnya sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga masa setelah kemerdekaan RI.
Buya Hamka adalah salah seorang ulama besar di Indonesia, nama lengkapnya adalah H. Abdul Malik Karim Amrullah. Namun kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan panggilan Hamka. Ia memiliki 12 orang anak, namun dua diantaranya meninggal saat balita. Irfan Hamka ini merupakan anak kelima dari Buya Hamka.
Semasa hidupnya, Buya, banyak dimintai pendapatnya di bidang keagamaan. Dahulu Buya merupakan seorang perjuangan kemerdekaan yang tinggal di Kota Padang Panjang, di daerah Guguk Malintang. Buya banyak memberikan motivasi kepada rakyat Minang untuk menyerukan kemerdekaan. Karena hal inilah maka Buya jadi buronan oleh Kompeni Belanda. Keluarganya pun mendukung perjuangan yang dilakukannya. Hal ini mereka lakukan Karena mereka tahu konsekuensi dari jabatan Buya, yaitu ketua Front Kemerdekaan Sumatra (FKS).
Setelah kemerdekaan Buya dan keluarganya pindah ke Jakarta. Di sini Buya bekerja di Departemen Agama. Buya tidak lupa memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Selain pandai mengaji, Buya juga pandai dalam dunia persilatan.
Setelah pemilihan umum 1955, Buya ditetapkan menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi. Tahun 1956, Buya sekeluarga pindah ke Kebayoran Baru. Desember 1967, Buya Hamka diminta oleh Jenderal Soeharto menyampaikan khutbah Idul Fitri Istana Negara, Jakarta. Selesai shalat Idul Fitri, Buya Hamka ditawari untuk mengunjungi kabbah. Akhirnya pada tahun 1968, Buya Hamka beserta Istri dan Irfan Hamka menjalankan ibadah haji. Dengan menaiki Kapal Mae Abeto. Setibanya di Mekah, mereka bergegas melaksanan rukun haji.
Dalam buku ini dikisahkan perjalanan Buya, Istrinya dan Irfan menuju ke beberapa negara seperti Kairo, Suriah, Lebanon, dan Irak.
Sesampainya di tanah air, Buya aktif menulis di koran mengenai kondisi Jemaah haji Indonesia. Ia memang sosok yang gemar membaca dan menulis. Karyanya banyak diterbitkan, salah satunya seperti Tenggelamnya kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Selain itu Buya juga aktif di lingkungan rumahnya, di Masjid Agung Al Azhar. Awalnya Buya meminta izin pengurus untuk memakai masjid yang waktu itu belum jadi sempurna untuk dijadikan tempat shalat lima waktu dan Buya Hamka mulai menyusun gagasan menjadikan masjid tersebut sebagai pusat dakwah. Ia juga membangun sarana pendidikan yang awalnya berupa Sekolah Diniyah untuk keluarga tidak mampu dan kini sekolah itu terkenal dengan nama sekolah Al Azhar dengan cabang di mana-mana.
Di buku ini juga dikisahkan mengenai sifat Buya yang pemaaf dan bijaksana. Hingga menjelang akhir hayatnya, Buya yang terkenal sangat teguh pendiriannya terutama soal akidah. Ketika sakit beliau dirawat di RS Pusat Pertamina. Buya memang telah lama mengidap penyakit Diabetes Melitus dan penyakitnya itu telah menjalar hingga mengalami komplikasi ke jantung. Pada hari Jum’at, 24 Juli 1981, pukul 10:37 Buya Hamka meninggal dunia.
Berita kematian Buya segera tersebar. Banyak orang yang datang untuk berta’ziah dan memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Wafatnya Buya bukan saja membuat keluarga bersedih, namun murid-muridnya, masyarakat dan para seniman di Indonesia merasakan kesedihan atas kepergiannya.