Kamis, 20 April 2017

Menjemput Bidadari Kedua



MENJEMPUT BIDADARI KEDUA

Oleh
Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo, S. Pd., SGI
Perjalanan hidup itu selalu membuat kita menjadi pribadi yang berbeda, dari setiap drama yang telah di tentukan oleh sang khalik. Rejeki, jodoh serta kematian telah di tentukan pada setiap makhluk yang hidup di dunia ini.Aamiin. Begitulah yang terjadi pada catatan perjalanan hidupku dalam menjemput bidadari kedua. Suatu perjalanan panjang dan unik jika dikenang masa-masa itu.
Semua berawal dari perjumpaan 30 anak bangsa di sekolah guru Indonesia. Bertemu dengan berbagai perwakilan dari setiap daerah, Kini SGI Dompet Dhuafa telah memasuki tahun ke-7 yang telah mengutus sebanyak 21 angkatan di 33 provinsi yang ada di Indonesia. Memberikan banyak kontribusi buat pendidikan Indonesia dari tangan – tangan pemuda generasi harapan bangsa.
SGI Angkatan 7 telah mengutus 30 orang pemuda dan pemudi yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia, sebut saja Abdi Husni Dermawan asal Medan – Sumatera Utara, Ahmad Rizal Khadapi asal Lombok – Nusa Tenggara Barat, Andi Pahman Harahap asal Medan – Sumatera Utara, Asyanti Nurmuawwanah asal Makassar – Sulawesi Selatan, Budi Iskandar asal Garut – Jawa Barat, Dedi Hadiarto asal Kendari – Sulawesi Tenggara, Dena Fadillah asal Tasikmalaya – Jawa Barat, Elis Yuliani asal Tasikmalaya – Jawa Barat, Fitri Setyo Ningrum asal Cilacap – Jawa Tengah, Fitriani Wahyu Setyaningrum asal Jakarta – DKI Jakarta, Fitriani asal Pare-Pare – Sulawesi Selatan, Frima Rahmulia asal Purwokerto – Jawa Tengah, Harini asal Wonosobo – Jawa Tengah, Heriyanto asal Sumbawa Barat – Nusa Tenggara Barat, Ilfa Yuni Arta asal Bandar Lampung – Lampung, Januarita Sasni asal Padang – Sumatera Barat, Maria Ulfah asal Sampit – Kalimantan Tengah, Novi Aulia Hikmawati asal Padang – Sumatera Barat, Nurhasanah asal Medan – Sumatera Barat, Peni Yanda asal Riau – Riau, Restgha Noriega asal Ciomas – Banten, Ricky Irwandi asal Padang – Sumatera Barat, Risty Ani asal Klaten – Jawa Tengah, Riyanti asal Riau – Riau, Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo asal Kendari – Sulawesi Tenggara, Septiyani Aziz asal Rangkasbitung – Banten, Siti Fatonah asal Boyolali – Jawa Tengah, Sudendi Retno Efendi asal Purwokerto – Jawa Tengah, Suko Sri Anggono asal Klaten – Jawa Tengah dan terakhir Ulfa Wardani asal Medan – Sumatera Barat.
Disini kami dibina selama 5 bulan, diawali dengan masa perkuliahan selama satu bulan setengah. Di sini, kami mengikuti perkuliahan sebagai mana sekolah dibangku formal. Interaksi yang terjadi pun antara ikhwan akhwat hanya seperlunya. Sampai suatu ketika tiba saatnya kami memasuki tahap selanjutnya, yaitu magang. Didepan kelas, disebutkanlah bahwa dari ber-30 akan dibagi menjadi 10 sekolah dengan setiap sekolah terdiri dari 3 anak SGI. Dari sinilah semua catatan perjalanan itu dimulai. Ketika pembagian kelompok magang disebutkan oleh managemen SGI, yakni Abdi Husni Dermawan, Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo dan Fitriani Wahyu Setyaningrum.
Sejenak setelah disebutkan tiga nama tersebut, masing-masing dari kita memiliki ekspresi yang berbeda, Abdi dan Fitriani berekspresi khawatir karena mereka memiliki historis yang tidak enak, ada kesalahpahaman saat dahulu sedangkan Sapto ekspresinya biasa saja. Jadilah saat itu fitriani dan abdi meminta sapto untuk menjadi penengah saat magang.
Seiring berjalannya kegiatan magang, awal-awal masih ada kecanggungan antara Abdi dan fitriani. Namun suatu ketika kami saling terbuka tentang perasaan tidak enak dan rasa yang mengganjal di hati. Jadiah saat itu sepulang magang kita bertiga jalan kaki melalui kebun-kebun dari sekoah sampai ke asrama. Di sinilah kami mulai saling cerita, syukurnya bukan ego kita yang dikeluarkan namun perasaan bersalah dan kejujuran yang terucap, jadilah di sana masing-masing kita mengeluarkan uneg-unegnya dan saling lega saat sudah mengungkapkan.
Dari sini mulailah terbangun keakraban kita bertiga. Didukung dengan kondisi tempat magang yang bagus, sehingga memunculkan semangat yang membara juga bagi kita. Kami sering melakukan banyak hal bertiga, mulai dari kondangan bertiga, masak mie bertiga sampai lembur di sekolah untuk menyelesaikan tugas kita. Hingga teman-teman SGI yang lain mungkin iri dengan kedekatan kita bertiga. Rasa marah yang dahulu ada berubah menjadi rasa saling ukhuwah. Dari sini, entah bagaimana mulailah rasa tumbuh namun hanya sebatas sahabat. Moment pertama yang diingat yaitu saat Fitriani memberikan minuman pocari dan susu ultra saat meminta tolong aku memperbaiki leptopnya, meski sering kuperbaiki leptop orang, namun baru kali ini aku diberikan minuman.
Kedua yakni saat aku mnedengar bahwa setiap orang di pavilion 2 (akhwat) diberikan coklat masing-masing, uniknya saat bangun tidur coklat itu sudah ada disamping bantalnya beserta tulisannya diberikan oleh fitriani. Ketiga saat fitriani membuat timeline tugas untuk teman-teman magang. Keempat saat share, fitriani memberikan beng beng untuk 29 teman2nya beserta dengan tulisan yang berbeda, ini beberapa hal yang fitriani lakukan hingga menarik perhatianku.
Hingga setelah magang kita melaksanakan share di tasikmalaya selama sebulan. Kegiatan ini memaksa kita untuk berpisah satu dengan yang lainnya hanya saja Abdi dan Fitriani masih dalam satu tim yang sama hanya berbeda kampong, sedangkan Sapto berbeda tim dan jaraknya yang jauh dengan Abdi dan Fitriani. Sehingga komunikasi antara kami bertiga mulai berkurang. Alhasil pasca kegiatan ini, kami bertiga sepakat untuk kumpul bareng dan bercanda gurau seperti saat di magang dahulu.
Semua terasa indah, yang tadinya hanya sebatas persahabatan, namun kini terasa jauh dari itu. Tumbuhlah perasaan saling menghargai lebih dari sahabat. Di  tambah lagi Abdi sering menumbuhkan yang seharusnya tidak tumbuh antara Sapto dan Fitriani. Namun rasa itu tetap bisa di kendalikan, hingga akhirnya kami bertiga di pisahkan dalam kelompok yang baru saat penempatan. Abdi di tempatkan di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara, Fitriani di tempatkan di Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Sapto di tempatkan di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Jarak dan waktu memisahkan tiga orang sahabat ini yang sudah seperti saudara.
Di masing-masing penempatan, kami beraktivitas seperti biasanya, interaksi bertiga hanya sebatas seperlunya dan hanya menanyakan kabar serta aktivitas di penempatan. Namun disini, sudah tumbuh benih-benih perasaan cinta dengan Fitriani, namun apa daya lisan ini belum mampu untuk berterus terang dengan nya apalagi setelah tahu bahwa ada laki-laki yang datang kepadanya saat di Sumbawa tambahlah lagi segan tuk bicara dan ikatan kontrak SGI yang tidak membolehkan menikah saat program masih berlangsung. Namun sempat kuselipkan beberapa pertanyaan kepadanya tuk meyakinkan perasaanku, hanya sebatas itu tidak lebih.
Sampai tiba saatnya penarikan  dari daerah, perkataan Pak Agung yang menjelaskan bahwa “ masa program SGI sebentar lagi akan selesai dan kalian bisa menentukan langkah apalagi selanjutnya, jika ada yang mau menikah sesama penerima manfaat SGI maka moment wisudalah merupakan moment yang paling tepat, jika ingin melanjutkan S2, pihak managemen hanya bisa membantu merekomendasikan dan mencarikan informasi”. Beberapa hari sibuk mengerjakan tugas akhir, masih saja teringat perkataan Pak Agung, ingin rasanya ku ungkapkan saat wisuda. Sampai tiba moment saat wisuda, ku rasa ini saat yang tepat tuk mengungkapkan maksud dengan orang tua Fitriani, namun apa daya lidah ini begitu kelu untuk mengeluarkan kata-kata, bahkan tuk berfoto bersama saja rasanya malu sekali. Jangankan tuk berfoto, menegur pun terasa berat. Hingga ibunda Fitriani mengatakan aku adalah anak yang diam aja, tidak mau tegur sapa dan keliatan  murung seperti ada yang di pikirkan.
Pasca wisuda SGI lewat begitu saja, Allah belum mengijinkanku untuk mengutarakan niatku yang akan meminang anak semata wayangnya yaitu Fitriani. Akhirnya kita berniat untuk melakukan perjalanan bersama di pulau jawa, di sini mulai niatku tuk mengungkapkan. Kota pertama yang kita sambangi yaitu kota tasikmalaya. Di daerah ini aku dan dia sangat jauh, hanya berjumpa saat di bus menuju tasik sesampainya di sana kita berpisah, jadilah moment tasik terlewati. Setelah dari tasik kami sama-sama pergi ke Yogyakarta. Bersama Abdi, Maria, aku dan dia, senang rasa hatiku ditambah lagi ini pengalaman baru dia naik kereta ke jawa. Di yogya kami menginap di masjid, kami pergi bermain-main ke candi Borobudur, candi prambanan, pohon beringin kembar, gua cermei, pantai parangtritis, marlioboro, bandara adi sucipto, ingin rasanya kuungkapkan perasaanku di salah satu tempat, namun apa daya Allah masih belum mengizinkan ku tuk menyampaikan maksud hatiku, hingga moment-moment tersebut pun terlewat begitu saja.
Setelah kota pelajar, kami pergi ke Wonosobo, disana kami memiliki teman yang dijadikan tour guide. Kami pergi ke Dieng dan mendaki gunung, menuju desa tertinggi di pulau jawa, mungkin disini sempat terpikir tempat istimewah tuk aku menyatakan keinginanku, namun lagi-lagi aku kehilangan moment indah itu. Kota selanjutnya yakni Semarang moment yogyapun terlewati, moment Wonosobo juga terlewati.
Kini Semarang menjadi saksi bisu pikirku dalam hati, apalagi di kota ini ada sebuah tempat yang sungguh luar biasa romantisnya untuk mengungkapkan perasaan tulus dan ikhlas, yaitu Mesjid Agung Jawa Tengah. Karena aku tidak tega membiarkan ia pergi sendiri akhirnnya aku pergi untuk menemani ia ke semarang bersama abdi. Di sana kita menjumpai adik angkatnya dari Sumbawa. Kami berkesempatan pula mengunjungi lawang sewu, sempat terpikir kembali, mungkin di sini saatnya, namun lagi2 moment lawang sewu terlewatkan. Setelah lawang sewu lewat, kami pun berangkat ke Mesjid Agung Jawa Tengah. Dan lagi-lagi, huruf-huruf kecil yang akan aku rangkai untuk menjadi kata, dan kata-kata yang tersusun rapi hingga menjadi kalimat yang bermakna tak mampu terlontar dari bibirku. Semarang pun tingal kenangan.
Setelah ke semarang, aku dan abdi berpisah. Abdi menuju kota Bandung sedangkan aku pergi ke kampungnya, lagi-lagi aku tak tega membiarkan ia jalan sendirian. Tour selanjutnya yaitu kampung halaman Fitriani. Sungguh indah panorama kampung halaman Fitriani, aku pun banyak berdecak kagum melihat pemandangan yang indah luar biasa. Aku pun tak sempat pulang kampong ke kampong halaman, mungkin aku sudah lupa halaman berapa. Hehehehe
Di kampung halaman Fitriani, aku merasa ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaan ini yang telah tersimpan dalam hati. Namun, masih saja hati ini berkata “belum saatnya”. Di kampung halaman Fitriani, aku melihat sosok yang berbeda dari dirinya. Dia begitu cekatan dalam merawat kedua keponakannya yang kembar, mulai dari menyuapinya makan, memandikannya bahkan hingga menidurkannya dan caranya itu yang membuatku terkesima.
Sebuah buku pernah aku baca, bahwa memilih calon istri itu tidaklah sulit, selain kriteria agama dan akhlak yang baik, maka perhatikanlah bagaimana ia memperlakukan saudara laki-lakinya, jika ia tidak memiliki saudara laki-laki, maka lihatlah bagaimana ia memperlakukan sepupu laki-lakinya, dan jika ia tidak memiliki sepupu laki-laki, maka lihatlah bagaimana ia memperlakukan keponakan laki-lakinya.
Sehingga berbekal itu, aku melihat sosok Fitriani yang mampu merawat keponakan laki-lakinya, penuh kasih sayang dan keikhlasan yang tulus. Aku pun semakin meyakinkan diriku bahwa inilah perempuan yang akan aku perjuangkan, ku berkeluh kesah pada Allah SWT agar di berikan petunjuk dan di mudahkan dalam setiap langkah yang aku ambil untuk mencari ridho-Nya.
Namun di kampung halaman Fitriani pun tak mampu memaksaku untuk mengutarakan niatan baikku itu untuk segera meminangnya. Hingga moment kampung halaman pun terlewat begitu saja.
Hingga tiba perjalanan selanjutnya yaitu kota cilacap. Disana kami bertemu dengan fitri/riri, kami pun bertemu ayah ibu baru, yaitu orang tua riri. Saat di cilacap, tidak ada niatanku tuk berbicara tentang perasaanku, karena di sini saatnya bercengkrama dengan ayah ibu angkat. Aku merasa saat diboncengi motor oleh ayah riri, ku jadi teringat ayahku yang sudah meninggal 13 tahun yang lalu.
Baiklah, sampai akhirnya sampailah di Jakarta. Kami naik bus sinar jaya dari cilacap menuju Jakarta, di sana rasanya ingin kuungkapkan niat baikku, namun aku merasa iba karena ia terlihat sangat sedih berpisah dengan kawannya. Jadilah kuurungkan niatku. Selanjutnya sampailah kami di Jakarta. Saat itu aku merasa sangat grogi ada di rumahnya. Diselingan dirumahnya aku sempatkan untuk banyak bicara dengan ayahnya. Mengorek informasi dari ayahnya berharap bisa langsung aku utarakan niat baikku ini pada ayahnya. Setelah tahu jawaban ayahnya , jika ada yang berniat baik, ia serahkan semuanya kepada anaknya, dari sana ku tahu bahwa semua tergantung dari dia, meski aku belum mengutarakan niat baikku pada anaknya. Sebelum aku mengutarakan niat baikku, aku meminta untuk diantar ke monas, ia pun dengan senang hati mengantarkanku.
Sampai tiba di stasiun senen, aku dan dia ingin menjemput abdi, di sanalah kuutarakan niat baikku.
“tadi aku bicara dengan ayahmu, ternyata ayahmu saja ya yang belum menikah anaknya. Sempat mau ku Tanya , bapak kalau anaknya di bawa ke Sulawesi boleh ga ?“
“hah kamu seriusan mas Tanya itu sama ayahku ?”
“ beneran, aku serius, tapi kata ayahmu terserah anaknya yang mau jalanin, ya udah sekarang aku Tanya sama kamu, anaknya mau ngga kalau di bawa ke Sulawesi?”
Setelah mendengar pertanyaanku, fitriani pun hanya menunduk dan kita sama-sama saling berjalan menuju stasiun. Sambil untuk memecahkan ketegangan, saya bercerita tentang masa lalu dengan tim pandeglang saat di stasiun senen. Sampai tibalah kita di stasiun, kita mampir untuk membeli minum dan selanjutnya menunggu di di waiting room untuk kereta. Di sana seolah ia masih tidak percaya dengan niat baikku, kembali ia manyakan padaku.
“ Sapto, kamu seriusan dengan apa yang kamu bilang tadi ?”
“ ia saya serius, memang kapan saya tidak serius? “


“ ko kamu berani bilang sama aku to ?”
“ ia lah berani, emang kenapa tidak berani ?”
Itu sedikit pembicaraanku dengannya, ku rasa ia masih tidak percaya dengan apa yang kuungkapkan. Sampai akhirnya abdi dating, kami sama-sama menjemputnya. Meski baru berpisah sebentar dengan abdi, namun ku rasa senang sekali bertemu dengan abdi, setelah itu kami bertiga pulang ke matraman. Sesampainya di matraman, istirahat makan, dan beres – beres.
Malam harinya ia menanyakanku lagi, seakan masih saja ia tidak percaya dengan ucapanku, tapi disitu aku senang karena bisa berbicara serius dengannya.
“ Sapto, kamu beneran dengan ucapanmu tadi ?”
“ Ia saya beneran dengan ucapan tadi”
“ Memang sejak kapan kamu merasa suka dengan saya ? “
Lalu diceritakanlah olehnya tentang perasaannya.
Esok harinya sebelum aku pulang ke Sulawesi, aku beranikan bicara dengan ayah ibunya, Alhamdulillah mereka adalah orang tua yang luar biasa, mereka menerimaku dengan syarat anaknya tidak boleh pindah dari Jakarta. Hal ini aku maklumi karena ku tahu ia adalah anak tunggal sehingga berat rasanya jika anaknya pindah.
Akhirnya ku berjanji selepas ku bertemu dengan keluarga di kampong, aku akan kembali. Dan janjiku pun ku penuhi, bulan 5aku kembali ke Jakarta dengan modalku yang pas.
Tapi aku berkeyakinan Allah bersama orang2 yang mempunyai niat baik. Di sjakarta aku kesana kemari mencari pekerjaan, sampai akhirnya aku mendapat pekerjaan di SDIT Al haraki. Alhamdulillah aku bersyukur dengan rizkiNya.
Kemudian sebagai tanda pengikat, meski tak bisa kutepati tanggal 11 April seidaknya moment yang pas, yakni saat ulang tahunku. Jadi lah tanggal 15 Juni 2016 aku dating tuk melamar, dengan Pak Agung sebagai waliku, karena keluargaku nun jauh disana.
Sebelum lamaran aku pun sudah bertanya dengan keluargaku mengenai hari baik untuk pernikahan. Jadilah rabu wage saat netonnya fitriani. Dan pitusukanlah tanggal 21 September 2016 dan 24 september 2016.















PROFIL PENULIS
Ø  Nama Lengkap           : Sapto Prio Wawan Hadi Wibowo
Nama Panggilan         : Sapto
Tempat, Tgl Lahir       : Makassar, 15 Juni 1991
Prog.Studi/Jurusan      : Pendidikan Matematika/Pend. MIPA
Perguruan Tinggi        : Universitas Halu Oleo
Aktivitas Saat Ini        : Pengajar di Pesantren Ummushabri
                                    Kendari Sulawesi Tenggara
Cita – Cita                  : Keliling Indonesia
Motto                         : “Dicoba tak mengapa. Gagal?
                                    Jadikan pengalaman”
Hobi                           : Membaca, mendengarkan musik dan
                                    Travelling
Asal Daerah               : Kendari Sulawesi Tenggara
Alamat                       : Jalan Poros Wayong – P2ID Kendari
No Hp                        : 085241 910615 / 0856 5618 6291
No Rekening BSM      : 7080258172

Kamis, 30 Maret 2017

Resume buku ayah dari Buya Hamka

                                    Buah Keimanan Buya Hamka



 
Judul Novel : Ayah
Pengarang : Irfan Hamka
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2013
Tebal : 324 halaman









SINOPSIS
Buku ini menceritakan tentang pengalaman yang dialami oleh Irfan Hamka selaku anak Buya Hamka serta keteladanan yang diambil oleh Irfan Hamka dari ayahnya sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga masa setelah kemerdekaan RI.
Buya Hamka adalah salah seorang ulama besar di Indonesia, nama lengkapnya adalah H. Abdul Malik Karim Amrullah. Namun kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan panggilan Hamka. Ia memiliki 12 orang anak, namun dua diantaranya meninggal saat balita. Irfan Hamka ini merupakan anak kelima dari Buya Hamka.
Semasa hidupnya, Buya, banyak dimintai pendapatnya di bidang keagamaan. Dahulu Buya merupakan seorang perjuangan kemerdekaan yang tinggal di Kota Padang Panjang, di daerah Guguk Malintang. Buya banyak memberikan motivasi kepada rakyat Minang untuk menyerukan kemerdekaan. Karena hal inilah maka Buya jadi buronan oleh Kompeni Belanda. Keluarganya pun mendukung perjuangan yang dilakukannya. Hal ini mereka lakukan Karena mereka tahu konsekuensi dari jabatan Buya, yaitu ketua Front Kemerdekaan Sumatra (FKS).
Setelah kemerdekaan Buya dan keluarganya pindah ke Jakarta. Di sini Buya bekerja di Departemen Agama. Buya tidak lupa memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Selain pandai mengaji, Buya juga pandai dalam dunia persilatan.
Setelah pemilihan umum 1955, Buya ditetapkan menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi. Tahun 1956, Buya sekeluarga pindah ke Kebayoran Baru. Desember 1967, Buya Hamka diminta oleh Jenderal Soeharto menyampaikan khutbah Idul Fitri Istana Negara, Jakarta. Selesai shalat Idul Fitri, Buya Hamka ditawari untuk mengunjungi kabbah. Akhirnya pada tahun 1968, Buya Hamka beserta Istri dan Irfan Hamka menjalankan ibadah haji. Dengan menaiki Kapal Mae Abeto. Setibanya di Mekah, mereka bergegas melaksanan rukun haji.
Dalam buku ini dikisahkan perjalanan Buya, Istrinya dan Irfan menuju ke beberapa negara seperti Kairo, Suriah, Lebanon, dan Irak.
Sesampainya di tanah air, Buya aktif menulis di koran mengenai kondisi Jemaah haji Indonesia. Ia memang sosok yang gemar membaca dan menulis. Karyanya banyak diterbitkan, salah satunya seperti Tenggelamnya kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Selain itu Buya juga aktif di lingkungan rumahnya, di Masjid Agung Al Azhar. Awalnya Buya meminta izin pengurus untuk memakai masjid yang waktu itu belum jadi sempurna untuk dijadikan tempat shalat lima waktu dan Buya Hamka mulai menyusun gagasan menjadikan masjid tersebut sebagai pusat dakwah. Ia juga membangun sarana pendidikan yang awalnya berupa Sekolah Diniyah untuk keluarga tidak mampu dan kini sekolah itu terkenal dengan nama sekolah Al Azhar dengan cabang di mana-mana.
Di buku ini juga dikisahkan mengenai sifat Buya yang pemaaf dan bijaksana. Hingga menjelang akhir hayatnya, Buya yang terkenal sangat teguh pendiriannya terutama soal akidah. Ketika sakit beliau dirawat di RS Pusat Pertamina. Buya memang telah lama mengidap penyakit Diabetes Melitus dan penyakitnya itu telah menjalar hingga mengalami komplikasi ke jantung. Pada hari Jum’at, 24 Juli 1981, pukul 10:37 Buya Hamka meninggal dunia.
Berita kematian Buya segera tersebar. Banyak orang yang datang untuk berta’ziah dan memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Wafatnya Buya bukan saja membuat keluarga bersedih, namun murid-muridnya, masyarakat dan para seniman di Indonesia merasakan kesedihan atas kepergiannya.