Buah
Keimanan Buya Hamka
Judul
Novel : Ayah
Pengarang : Irfan Hamka
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2013
Tebal : 324 halaman
SINOPSIS
Buku
ini menceritakan tentang pengalaman yang dialami oleh Irfan Hamka selaku anak
Buya Hamka serta keteladanan yang diambil oleh Irfan Hamka dari ayahnya sejak
masa perjuangan kemerdekaan hingga masa setelah kemerdekaan RI.
Buya
Hamka adalah salah seorang ulama besar di Indonesia, nama lengkapnya adalah H.
Abdul Malik Karim Amrullah. Namun kebanyakan orang lebih mengenalnya dengan
panggilan Hamka. Ia memiliki 12 orang anak, namun dua diantaranya meninggal
saat balita. Irfan Hamka ini merupakan anak kelima dari Buya Hamka.
Semasa
hidupnya, Buya, banyak dimintai pendapatnya di bidang keagamaan. Dahulu Buya
merupakan seorang perjuangan kemerdekaan yang tinggal di Kota Padang Panjang,
di daerah Guguk Malintang. Buya banyak memberikan motivasi kepada rakyat Minang
untuk menyerukan kemerdekaan. Karena hal inilah maka Buya jadi buronan oleh Kompeni
Belanda. Keluarganya pun mendukung perjuangan yang dilakukannya. Hal ini mereka
lakukan Karena mereka tahu konsekuensi dari jabatan Buya, yaitu ketua Front
Kemerdekaan Sumatra (FKS).
Setelah
kemerdekaan Buya dan keluarganya pindah ke Jakarta. Di sini Buya bekerja di
Departemen Agama. Buya tidak lupa memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Selain
pandai mengaji, Buya juga pandai dalam dunia persilatan.
Setelah
pemilihan umum 1955, Buya ditetapkan menjadi anggota Konstituante dari Partai
Masyumi. Tahun 1956, Buya sekeluarga pindah ke Kebayoran Baru. Desember 1967,
Buya Hamka diminta oleh Jenderal Soeharto menyampaikan khutbah Idul Fitri
Istana Negara, Jakarta. Selesai shalat Idul Fitri, Buya Hamka ditawari untuk mengunjungi
kabbah. Akhirnya pada tahun 1968, Buya Hamka beserta Istri dan Irfan Hamka menjalankan
ibadah haji. Dengan menaiki Kapal Mae Abeto. Setibanya di Mekah, mereka
bergegas melaksanan rukun haji.
Dalam
buku ini dikisahkan perjalanan Buya, Istrinya dan Irfan menuju ke beberapa
negara seperti Kairo, Suriah, Lebanon, dan Irak.
Sesampainya
di tanah air, Buya aktif menulis di koran mengenai kondisi Jemaah haji
Indonesia. Ia memang sosok yang gemar membaca dan menulis. Karyanya banyak
diterbitkan, salah satunya seperti Tenggelamnya
kapal Van Der Wijck dan Di Bawah
Lindungan Ka’bah.
Selain
itu Buya juga aktif di lingkungan rumahnya, di Masjid Agung Al Azhar. Awalnya
Buya meminta izin pengurus untuk memakai masjid yang waktu itu belum jadi
sempurna untuk dijadikan tempat shalat lima waktu dan Buya Hamka mulai menyusun
gagasan menjadikan masjid tersebut sebagai pusat dakwah. Ia juga membangun
sarana pendidikan yang awalnya berupa Sekolah Diniyah untuk keluarga tidak
mampu dan kini sekolah itu terkenal dengan nama sekolah Al Azhar dengan cabang
di mana-mana.
Di
buku ini juga dikisahkan mengenai sifat Buya yang pemaaf dan bijaksana. Hingga
menjelang akhir hayatnya, Buya yang terkenal sangat teguh pendiriannya terutama
soal akidah. Ketika sakit beliau dirawat di RS Pusat Pertamina. Buya memang
telah lama mengidap penyakit Diabetes Melitus dan penyakitnya itu telah
menjalar hingga mengalami komplikasi ke jantung. Pada hari Jum’at, 24 Juli
1981, pukul 10:37 Buya Hamka meninggal dunia.
Berita
kematian Buya segera tersebar. Banyak orang yang datang untuk berta’ziah dan
memberi penghormatan terakhir kepada almarhum. Wafatnya Buya bukan saja membuat
keluarga bersedih, namun murid-muridnya, masyarakat dan para seniman di
Indonesia merasakan kesedihan atas kepergiannya.